Budaya membaca bangsa kita khususnya generasi muda belum terlalu menggembirakan. Apalagi ketika kita bandingkan dengan budaya membaca bangsa lain. Setidaknya ini adalah data dari UNESCO tahun 2005 dalam melihat apresiasi para pembelajar dalam membaca. Gempuran media audio visual menyebabkan kita terlena dalam mendapatkan informasi. Kita menjadi cenderung pasif membaca. Membaca bagi rata-rata orang memang masih dianggap sebagai rutinitas yang membosankan. Bagi pelajar dan mahasiswa yang tidak terbiasa ‘bergaul’ dengan buku, kehadiran buku teks menjadi tantangan tersendiri untuk dikuasai. Hasilnya, walaupun level kegemaran membaca ini bukan salah satu faktornya, tingkat Human Development Index Indonesia masih bertengger di angka 100-an. Data yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) mengenai Human Development Report tahun 2007/2008 menyatakan bahwa Indonesia memiliki HDI dengan urutan ke-107. Angka ini jauh dibawah negara tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Singapura yang sudah termasuk dalam kategori High Human Development. Angka HDI ini sangat relevan untuk melihat sejauh mana tingkat melek huruf dan pendidikan.
Rendahnya tingkat melek huruf, memang berkorelasi dengan tingkat partisipasi pendidikan Indonesia juga masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga. Data terbaru menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pendidikan tinggi kita masih di bawah 20 persen. Angka tersebut jauh lebih rendah dibanding Malaysia dan Thailand yang mencapai 45 hingga 50 persen, Singapura dan Jepang mencapai 55 persen, sedangkan Korea mencapai 90 persen (Tempo Interaktif, 2009). Kenyataan ini tidak hanya terbatas pada perguruan tinggi, namun juga pendidikan menengah. Di antara beberapa faktor penyebab rendahnya angka partisipasi adalah infratruktur yang tidak sebanding dengan jumlah calon peserta didik.
Bertolak dari hal tersebut, kini kita mendapatkan fakta yang boleh dibilang tidak berkorelasi positif dengan kondisi di atas, dimana demam TIK sudah mewabah tidak hanya di kalangan pendidik, namun juga masyarakat awam. Pemanfaatan TIK yang semakin luas ini tentu saja memerlukan perhatian dari semua pihak agar fokus pemanfaatan itu tidak hanya disekitar “fun, fashion, and entertainment”. Berfokus pada ketiga hal ini tentu terkesan “meninabobokan”. Diperlukan sisi lain untuk disentuh, dalam hal ini pendidikan. Sudah terdapat banyak sekali penelitian yang menyebutkan bahwa TIK dapat menjadi pendukung (enabler) bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. TIK memiliki peranan strategis disini untuk memperluas akses ke sumber-sumber informasi pendidikan.
Tantangan Sekolah: Kendala Infrastruktur & SDM
Adalah menjadi rahasia umum bahwa akselerasi pemafaatan TIK di sekolah masih perlu dipercepat. Keinginan ini tentu bukan tanpa alasan. Rata-rata infrastruktur dan SDM di sekolah memang masih minim untuk menangani akselerasi ini. Tidak semua sekolah memiliki laboratorium komputer yang memadai. Selain itu SDM sekolah yang diberi wewenang mengelola TIK terkadang tidak cukup, baik dari sisi jumlah maupun kompetensi. Tidak dipungkiri memang ada pihak manajemen sekolah yang patut diacungi jempol karena keinginan dan kepedulian kuatnya, berani ”mengimpor” SDM dari institusi lain untuk menangani TIK di lingkungannya. Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian dan pekerjaan rumah bagi instansi terkait.
Inisiatif pemanfataan TIK dalam pendidikan sebenarnya sudah berjalan cukup lama dan tidak hanya datang dari Pemerintah, tetapi juga dari masyarakat dan institusi swasta. Global Distance Learning Network (GDLN) Indonesia yang memiliki subcenter di Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, Universitas Udayana, dan Universitas Riau sangat berpotensi untuk mendukung program distance learning. Belum lagi, Departemen Pendidikan Nasional melalui Pustekkom telah menyediakan infrastruktur jaringan yang menghubungkan antar-institusi di Indonesia melalui Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas).
Jardiknas yang terbagi menjadi empat zona (zona perguruan tinggi –Inherent, zona sekolah, zona dinas, dan zona individu) sanggup merangkul institusi pendidikan hingga ke level kabupaten. Fasilitas Jardiknas sudah menjamin konektivitas antar-institusi bisa dilakukan. Kini sudah banyak perguruan tinggi negeri dan swasta sudah terhubung ke Inherent. Pada tahap awal saja, yaitu tahun 2006 telah terbangun interkoneksi 32 localnode yang berada di perguruan-perguruan tinggi di ibu-ibu kota propinsi di Indonesia dengan bandwith bervariasi mulai 1, 2, 8, hingga 155 Mbps! Data terakhir menunjukkan sudah terdapat 462 nodes untuk Intranet Diknas Kota/Kabupaten, 300 nodes untuk Zona Perguruan Tinggi, dan 93 nodes untuk ICT Center (PGSD) (www.jardiknas.diknas.go.id). Selain itu, Detiknas juga telah memasukkan e-Pendidikan sebagai salah satu Flagship Program TI nasional.
Perkembangan pemanfaatan Internet sebagai media akses informasi merupakan modal dasar yang menggembirakan. Jumlah pemakai internet untuk di Indonesia terus meningkat. Menurut data dari APJII, pada tahun 2007 pemakai internet di Indonesia mencapai 25 juta orang, meningkat 25% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah warnet juga semakin banyak. Menurut AWARI, pada awal tahun 2008 jumlah warnet di seluruh Indonesia sekitar 10.000, dan diperkirakan mencapai 12.000 di akhir tahun. Biaya warnet juga terus turun dari tahun ke tahun semakin memperluas peluang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah untuk menggunakan internet.
Hanya saja ”berlimpahnya” akses ke Internet tidak secara otomatis membantu sekolah dalam mendayagunakan TIK dalam pembelajaran. Masih perlu sentuhan dan pembimbingan dari pihak lain, baik individu maupun institusi. Dalam konteks inilah universitas dapat mengambil peran untuk meningkatkan akselerasi pemanfaatan TIK dalam proses belajar mengajar di sekolah.
Dilihat dari sisi ”topografi”, keberadaan sekolah ternyata tidak terlalu jauh dengan keberadaan institusi perguruan tinggi baik yang negeri maupun swasta. Kalau kita telusuri lebih lanjut, ternyata institusi perguruan tinggi yang memiliki program studi berbasis TI tidak sedikit. Diantara institusi tersebut, sudah ratusan jumlahnya yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer (APTIKOM). Institusi pendidikan TIK mampu menjadi lokomotif dalam meningkatkan akselerasi pemanfaatan TIK di sekolah.
Menyemai Program Kemitraan
Pada tanggal 6 April 2009 yang lalu, Tim Esfindo (E-School for Indonesia) Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia telah merilis sebuah mekanisme kerjasama kepada sekolah untuk mendayagunakan sistem pembelajaran online gratis. Fasilitas yang ada pada sistem ini meliputi fasilitas untuk komunikasi dua arah baik yang sinkronus maupun asinkronous, fasilitas manajemen pengguna, manajemen bahan ajar dan evaluasi. Dengan memanfaatkan sistem ini, pengguna mampu belajar dalam lingkungan belajar yang tidak jauh berbeda dengan suasana sebagaimana pembelajaran konvensional. Portal yang digunakan juga bukan sesuatu yang baru, diimplementasikan berbasis sistem open source, Moodle. Modifikasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan jenjang pendidikan. Tingkat sekolah menengah (K-12) memerlukan perhatian yang berbeda karena nature dari konten pendidikan dan karakteristik pelajar berbeda dengan universitas. Selain itu kemampuan TI baik pelajar dan guru masih bervariasi.
Hanya saja yang seharusnya lebih menjadi concern kita saat ini bukan pada jenis sistem apa yang dipakai, namun inisiatif apa yang sudah dilakukan berbagai pihak dalam pemanfaatan TIK ini. Inisiatif institusi yang mampu untuk memberikan layanan dan bimbingan terhadap institusi lain masih perlu ditumbungkembangkan. Universitas juga memiliki banyak ahli tidak hanya di bidang science, namun juga humaniora. Ini adalah modal penting untuk mengemas konten pendidikan yang berkualitas. Jalinan kerjasama juga dapat dilakukan antar konsorsium dosen dan guru (MGMP).
Sistem pembelajaran online dapat digunakan untuk membantu proses transformasi paradigma pembelajaran dari teacher-centered menuju student-centered. Bukan lagi pengajar yang aktif “menyuapi” pembelajar dengan materi atau meminta siswa bertanya mengenai sesuatu yang belum dipahami, tetapi disini siswa difasilitasi untuk belajar secara kritis dan aktif. Sistem ini dapat juga dikemas untuk melangsungkan proses belajar mengajar dengan pendekatan kolaboratif (collaborative learning) maupun pemecahan masalah (problem-based learning).
Akhirnya, upaya ini pada dasarnya hanya satu upaya dari sekian banyak upaya yang bisa dilakukan pihak universitas dalam membantu sekolah mendayagunakan TIK untuk meningkatkan akses para siswa terhadap konten dan aktivitas pembelajaran. Tentu saja ini juga bukan bentuk dukungan pertama kali dari pihak universitas kepada sekolah. Paling tidak inilah satu bentuk model yang bisa dilakukan untuk meningkatkan akselerasi TIK di bidang pendidikan kita.
Informasi lebih lanjut:
Situs Esfindo: http://esfindo.cs.ui.ac.id
Webpage: http://esfindo.wordpress.com
Email: [email protected]
Viewed 11661 times by 746 viewers