Tulisan ini telah diajukan dalam lomba esai se-Jabodetabek, Desember 2007yang diselenggarakan LKM ( Lembaga Kajian Mahasiswa ) UNJ, dan mendapat peringkat III.
Indonesia tanah airku,
Sejak kecil seluruh anak bangsa ini didalam ruang kelas selalu saja diinformasikan mengenai tanah airnya, Indonesia. Segala keanekaragaman kekayaan, mulai dari lautan hingga hutan yang begitu nan indah dimiliki negara berpenduduk lebih dari 320 juta jiwa ini. Bahkan segala jenis ikan seluruh dunia, terdapat di sebuah pulau bernama bunaken, Manado. Negara ini mempunyai minyak di telaga tiga, batu bara di timur sumatera dan sebahagian besar Kalimantan ; 1,32% dari cadangan batu bara dunia. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia menempati urutan ke-13 di dunia. Belum lagi produksi yang dapat di perbaharui, seperti hutan. Ribuan hektar hutan Kalimantan harusnya memberikan kesejahteraan buat rakyatnya. Lain lagi ketika berbicara mengenai adat istiadat yang beranekaragam, propinsi di negara ini mempunyai karakteristrik yang berbeda, ini merupakan sebuah keunggulan.
Berdasarkan sejarah duniapun, Indonesia punya sriwijaya dan majapahit yang merupakan dua kerajaan yang meliputi Malaysia dan sebagian Singapura. Bahkan sebagian Negara Eropapun, seperti Belanda dan Portugis begitu ingin datang ke Indonesia, untuk mendapatkan rempah-rempah. Pelayaran sunda kelapa dari para pedagang Gujarat, sudah mampu menjadikan pelayaran terpadat didunia pada zamannya. Sungguhpun negara ini sebenarnya punya kekuatan secara historis maupun geografis, Indonesia tanah airku.
Pendidikan Indonesia Masa Depan
Lalu mengapa dengan segala kelebihan alam yang sebegitu besar, sebegitu besar pula rakyat ini belum merasakan kebesaran negaranya? Negara ini belum mampu keluar dari krisis ekonomi sejak 1998, terlalu lambat dibandingkan Singapura maupun Malaysia yang memang satu rumpun, melayu, tanya kenapa?,mengutip iklan. Kuncinya adalah tidak adanya penyadaran dan kurangnya kepedulian secara merata tentang pentingnya pendidikan bagi semua. Penyadaran pendidikan hanya berkutat bagaimana mendapatkan pekerjaan yang mapan setelahnya, semakin besar kegelaran, maka semakin pula menduduki posisi puncak. Lalu di mana sebuah nilai ilmu pengetahuan? Ekperimen, penemuan, observasi, penelitian dan sejenisnya, harusnya menjadi sesuatu yang harusnya dihargai oleh pemerhati pendidikan. Kelas, buku, sekolah masih menjadi sesuatu yang menakutkan bagi anak bangsa. Pasti ada yang salah disini, peranan semua pihak dan juga pemerintah sebagai pemilik kebijakan, harus ekstra keras mengkaji dan bertindak demi kemajuan pendidikan tentunya.
Lihatlah, apa yang diungkapkan perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi, dalam penyampaian anggaran belanja negaranya, menyinggung langsung masalah sektor informasi dan komunikasi serta multimedia untuk menunjang pendidikan dan menjadi unggulan di masa datang. Pembentukan karakter sumber daya manusia begitu diunggulkan di negara tersebut dan didukung sepenuhnya oleh pemerintahnya, dengan begitu kemajuan pendidikannya akan mengikuti. Di sisi lain, hukum begitu diterapkan oleh siapapun yang bertindak kriminal. Indonesia untuk pendidikan, sebenarnya sudah menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan, tapi rasanya belum mampu menyelesaikan permasalahan pendidikan yang secara nasional. Tapipun sudah ada beberapa tempat yang sudah mampu menggratiskan peserta didiknya, semisal Jembrana, Bali.
Untuk menyelesaikan persoalan pendidikan, perlu juga kita mengetahui konsep pendidikan itu sendiri, yaitu konsep dengan arti yang luas. Ia merupakan keseluruhan proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan berbagai bentuk perilaku lain yang mempunyai nilai positif terhadap lingkungan tempat hidupnya. Apabila proses itu sengaja dikelola agar dapat terbentuk perilaku tertentu dalam kondisi tertentu maka proses itu disebut pembelajaran/instruksional. ( Association for Educational Communication and Technology/AECT, 1986). Tiga point penting yang bisa diambil dari konsep tersebut untuk melukis harapan pendidikan masa depan, yaitu pengembangan diri, peranan sumber belajar dan juga maksimalisasi media.
Berikut merupakan sedikit analisa yang coba dikembangkan penulis dalam mengelola rangkaian harapan tersebut:
Pertama, terkait dengan pengembangan diri peserta didik secara utuh. Peserta didik adalah manusia yang harusnya menjadi manusia bukannya alat, subyek pendidikan bukan lagi objek. Nilai yang melekat berupa kognitif, afektif, dan psikomotorik sudah semestinya terkembangkan pada manusia, yang juga makhluk terberdaya. Manusia sebagai peserta didik merupakan makhluk yang unik, maka pendekatannyapun akan berbeda dengan makhluk lainnya. Pola pembelajaran sudah harus diarahkan pada sesuatu yang menyenangkan, bahkan sebaiknya pada tataran tingkat eksperimen. Peserta didik idealnya menjadi manusia yang bebas dari rasa kekhawatiran kesalahan bertindak, berucap, dan juga berani melakukan sesuatu yang memang bermanfaat bagi dirinya maupun lingkungannya. Oleh karena itu desain instruksional yang dibuat diarahkan pada pendekatan yang berpola isomeritik ( penggabungan segala kajian ilmu), sistemis, sistematis, berdaya lipat. Program akselerasi pembelajaran perlu sekali dikembangkan secara serius pada masa-masa mendatang, tentunya untuk mendapatkan SDM unggul secara cepat. Pengembangan diri juga bisa diberikan dengan penanaman nilai-nilai positif pendidikan, pentingnya belajar sepanjang masa, belajar dimanapun dan kapanpun tanpa harus terikat dengan lingkungan kelas semata. Seperti layaknya perkataan Confucius, pendidik terbesar di Tiongkok, dua ribu lima ratus yang lalu berkata, “Di usia 15 tahun pikiran saya sudah condong kepada pembelajaran. Ketika usia saya 30 tahun, saya capai hasil-hasil yang tak seberapa. Baru di usia 40 tahun lah keraguan saya hilang. Di usia 50 saya dapatkan pemahaman tentang operasi dan transformasi waktu dan ruang. Di usia 60 pengetahuan bisa ke luar masuk kepala saya tanpa hambatan. Di usia 70 akhirnya saya capai suatu kondisi di mana pikiran dan tubuh saya benar-benar sejalan, ketika apa yang saya lakukan secara spontan tidak melanggar aturan, dan saya tidak berbuat salah”.
Tak pelak lagi, sesungguhnya yang diharapkan adalah perubahan dalam kualitas pendidikan, dimulai dari pengembangan diri, sehingga terjadi perubahan paradigma pendidikan. Pertama, tidak lagi berorientasi pada pengetahuan melainkan pengembangan ke segala arah yang seimbang. Kedua, dari pembelajaran bersama, yang disentralisasikan menjadi pembelajaran yang diindividuasikan, yang didesentralisasikan. Ketiga, dari pembelajaran yang terbatas pada tahap pendidikan menjadi pembelajaran seumur hidup.
Rangkaian kedua adalah berperannya sumber belajar. Meretas harapan terhadap pendidikan di Indonesia memerlukan energi yang maksimal. Hal ini didasari dari kondisi Indonesia yang masih masuk kategori negara berkembang. Menuju ke arah kemajuan sebuah negara, mau tidak mau melihat pada kemajuan pendidikannya. Satu bagian yang tidak lepas dari proses pembelajaran adalah sumber belajar. Pada pendidikan tradisional, guru merupakan segala sumber ilmu pengetahuan, sungguh lain dengan pendidikan masa depan. Guru hanya sekedar penyambung ilmu pengetahuan, bukan lagi segalanya sumber. Segala sarana, informasi, media, atau apapun yang berguna, sedianya mampu dijadikan sumber untuk pembelajaran. Peranan teknologi informasi, harus bisa dimanfaatkan pada masa mendatang.
Proses pembelajaran dengan usia yang disesuaikan, semestinya memanfaatkan “e-net” atau “e-learning” dalam belajar. Pertemuan antara guru dan siswa tidak lagi sesering saat ini, siswa harus memanfaatkan waktunya buat aktivitas positif yang lain. Di satu sisipun, harusnya pemerintah mempermudah para pelajar dalam memanfaatkan internet. Pada masa ini program CAI (Computer Asisten Instruction) sudah semakin lazim digunakan diberbagai tempat pembelajaran. Semakin dikenalkan pada dunia komputer, maka pemahaman peserta didik akan semakin meningkat. PSB sebagai sarana dunia sekolah, pada masa ini sangat berfungsi sebagaimana peranannya. Siswa sangat mengoptimalkan kemampuannya di tempat sumber belajar ini. Semoga saja ini tercapai secara merata di Indonesiaku.
Ketiga, termaksimalisasikannya media pembelajaran. Istilah media yang merupakan bentuk jamak dari medium secara harfiah berarti perantara atau pengantar. AECT mengartikan media sebagai bentuk dan saluran untuk proses transmisi informasi. Sedangkan Olson (1974) mendefinisikan medium sebagai teknologi untuk menyajikan, merekam, membagi, dan mendefinisikan simbol dengan melalui rangsangan indra tertentu, disertai penstrukturan informasi. Media yang dimaksud harusnya memberikan rangsangan terhadap otak, mengatasi keterbatasan pengalaman, melampaui batas ruang kelas, memungkinkan interaksi langsung antara peserta didik dan lingkungannya, membangkitkan keinginan dan minat baru, membangkitkan motivasi dan merangsang untuk belajar. Menurut Haney dan Ullmer ada tiga kategori utama berbagai bentuk media pembelajaran. Pertama, media penyaji yaitu mampu menyajikan informasi, diantaranya grafis, bahan cetak, gambar diam, audio, televisi, multimedia. Kedua, media objek yaitu yang mengandung informasi, diantaranya replica, model, maupun benda tiruan. Ketiga, media yang memungkinkan untuk interaktif, disebut juga media interaktif. Dalam hal ini setidaknya ada tiga macam interaksi yang dapat diidentifikasikan, yaitu : berinteraksi dengan program, berinteraksi dengan mesin, dan berinteraksi antarsiswa secara teratur tetapi tidak terprogram.
Berabad-abad yang lalu, filsuf Yunani, Aristoteles, berkomentar, “akar pendidikan itu pahit, tetapi buahnya manis”. Namun sekarang dan yang akan datang, komentar tersebut harusnya berubah sebagaimana yang dikatakan usahawan teknologi yang disegani di Timur maupun Barat, Tuan Sayling Wen, “akar pendidikan tidak perlu pahit lagi, tetapi buahnya manis”. Untuk itu sesungguhnya masa depan pendidikan bangsaku, harusnya memanfaatkan sekali peranan media untuk pendidikan yang lebih maju. Kita bersama mendambakan hasil pendidikan yang berhasil guna, sehingga sumber daya manusia yang begitu melimpah akan mengelola kekayaan alam yang melimpah pula. Pendidikan diutamakan, hukum ditegakkan, kesejahteraan kan di dapatkan. Harapku padamu, Indonesiaku.
berjuanglah sepanjang masamu masih ada saudaraku
M. AGUS WIJAYA
Pemerhati Pendidikan,
berstatus mahasiswa di Teknologi Pendidikan UNJ
yang sedang aktif di BEM
Daftar pustaka :
• Wen, Sayling, 2003, “ Future of Education”, Batam, Lucky Publishers.
• Miarso, Yusufhadi, 2004, “Menyemai Benih Teknologi Pendidikan”, Jakarta, Kencana. • Gatra No. 02, 2007, “Edisi Khusus Perubahan Iklim” Jakarta, PT. Erika Parahiyangan
Viewed 2073 times by 753 viewers
◊ Category: Instructional Technology | ≠
Topik Serupa
- Problem Based Learning: an Overview | 7 April, 2008
- Dibalik Kesuksesan Moodle | 15 March, 2008
- Babak Baru e-Learning | 6 March, 2008
- Visi Teknologi Pendidikan | 11 February, 2008
- Rumusan Konsep Teknologi Pendidikan | 11 February, 2008
If you liked this entry, you might as well have a look at older posts, subscribe to my posts via mail, the RSS feed or read one of the latest articles.
Please leave your comment and let me know what you think about my topics.
February 10th, 2008 at 7:38 am
Agus. essai yang cukup kritis. selamat bergabung dengan kami disini…..
March 10th, 2008 at 2:51 pm
Gus.. terus menulis yah.. n gabung ntar di blog komunitas pecinta tulisan ;).Untuk sementara pake gratisan dulu…
di
http://dauride.wordpress.com
Ntar kemungkinan yang bakal nulis disitu untuk pertama kalinya diantaranya: aci, bia, rahmat, adis, irma, eka, diriku n dikau..
March 11th, 2008 at 11:06 am
Subhanallah..cukup tajam dan kritis!
Ibarat pisau, semakin diasah maka akan semakin tajam. So, terus diasah y kemampuan nulisnya supaya makin ma’nyus n susunan katanya lebih ok!
March 26th, 2008 at 9:23 am
agus bagus sekali tulisanmu sekalian aja nerbitin buku yang lo tulis